Drama Mundur: Fernando Costra Sang Matador Maut

Selama menulis di blog ini, saya belum membagikan jenis tulisan fiksi, yang merupakan passion saya. Di masa depan nanti, saya ingin menjadi pencerita, baik dalam film atau pun tulisan. Maka, saya sejak kini telah berlatih menulis bersama teman-teman penulis muda di Reading Lights Writer’s Circle.

Setiap sabtu kita berkumpul dan saling berbagi cerita. Sabtu kali ini, Andika sang moderator memberikan tema menulis alur mundur. Ya, mundur seperti jalan moonwalk Michael Jackson. Otak saya sempat tersendat ketika mencari ide. Yang ada dipikiran saya adalah menceritakan cara membuat kopi dengan alur mundur.

–          Aduk kopinya

–          Masukan air panas

–          Campur dengan 2 sendok gula

–          Masukan 2 sendok kopi

–          Sediakan cangkirnya

Aneh bukan?

Peserta lain pun mengalami hal yang sama. Alhasil, kami membutuhkan waktu sejam untuk menulis (rencana awalnya 30 menit saja). Dan, voila.. jadilah sebuah tulisan yang terinspirasi dari pembalap penantang maut.

Saya mendapat giliran pertama membacakan. Sehabis mendengar cerita Sapta yang duduk di sebelah, saya bergegas pergi. Ayah saya ulang tahun.

Saya cukup menyesal tidak bisa mendengarkan cerita teman lainnya. Semoga saya dapat membacanya di blog Writer’s Circle: http://rlwriterscircle.blogspot.com/

Kali ini saya akan mengisahkan cerita yang saya tulis, mengenai matador maut Fernando Costra. Silahkan dibaca dan memberi komentar.

Babak III

“Dan inilah saudara-saudara… Penantang maut kita! Fernando… Costra!” suara itu menggemakan Las Vegas. Selanjutnya, terdengar gemuruh ribuah penonton yang memenuhi halaman kasino Caesars Palace.

Sang jagoan muncul dengan motor sport yang menderu suaranya. Dialah sang petir, sang raja nyali, sang matador maut: Fernando Costra. Tubuhnya dibaluti dengan kostum kulit ketat berwarna merah-hijau. Di lengannya berjuntai benang-benang emas, layaknya kostum Elvis Presley.

Fernando lebih dari seorang pembalap maut, ia bintang. Saat pembalap lain mengenakan kostum kulit putih polos, Ia menarik perhatian dengan kostum semarak warnanya. Fernando lalu mengelilingi para penonton sambil melambaikan tangan , membuat wanita-wanita berteriak histeris.

Fernando sudah cukup melepaskan hasrat narsisnya, ia menghadap santapan utamanya. Di depannya sebuah landasan menukik tajam, lalu ada 28 mobil berjejer. Diakhiri dengan landasan landai menurun.

Fernando mengenakan helmnya yang bertuliskan “El Matador”. Saat menggerakan tuas gas, ia merasa sedikit linu tangannya. Selain itu, ia tidak nyaman dengan tulang bahunya yang bergeser.

Fernando mengucapkan doa terakhir, memegang kalung salib dari ibunya. Dan, ia melaju. Kencang sekali!

Fernando mulus melewati landasan dan terbang. Semua penonton mendongakkan kepala tertegun. “15 mobil, 20 mobil, 25 mobil, dan….. Ya! 28 mobil!” ujar sang presenter berkumis.

Tapi Fernando berada terlalu rendah. Ia mengantukkan tubuhnya ke landasan, bersalto acak 3 kali, meremukan sekujur tubuhnya. Motor melayang ke atas tubuhnya. Ban motor seakan menampar kepalanya dengan keras. Menghilangkan seluruh memori indah dan sakit di kepalanya.

Sang El Matador pun tewas di arenanya sendiri.

Babak II

Fernando adalah bintang baru, jagoan balap yang memiliki wajah Latin nan eksotis. Kalau orang mengenalnya saat ia kecil, orang tidak akan percaya anak miskin Meksiko ini bisa merajai tanah harapan, Amerika.

Bulan lalu, ia baru saja mengalahkan lompatan motor terjauh : deretan 20 mobil. Menjadi pemegang rekor adalah sebuah kenyamanan: dapat kontrak iklan bir, rumah mewah, minuman, wanita, semuanya! Namun, Fernando tak mudah puas.

“Aku ingin membeli rumah lagi di Miami, tepat di depan pantai!” ujarnya.

Maka, ia pun memilikinya.

Fernando berencana tinggal di rumah barunya selama seminggu saja. Di hari pertama, ia dikejutkan dengan kehadiran pelayan wanita di rumah tersebut.

“Isabel?” ujar Fernando.

Isabel dengan seragam pelayan putih abunya tertunduk malu,” Ya… aku melihatmu di TV. Kau terbang diatas mobil-mobil itu. Kau hebat seperti impianmu saat masih kecil. Andai aku tahu kau pemilik rumah ini, aku tidak akan berani bekerja di sini. Kau terlalu hebat dan aku bukan apa-apa, Fernando..” jelas Isabel.

Isabel adalah cinta pertama Fernando. Mereka bertetangga di Meksiko. Saat mereka masih kecil. Sebelum, Fernando muak dengan kemiskinan dan meninggalkan Isabel untuk ke tanah harapan.

Isabel kini hanyalah pelayan, pekerjaan yang masuk akal bagi para imigran. Ia telah bersuamikan seorang pencuci piring restoran, seorang Meksiko juga.

Di tengah perbedaan itu, Fernando dan Isabel tidak dapat membendung rasa. Mereka menghabiskan malam-malam yang hangat di rumah pantai itu.

Isabel pulang di hari keempat, dengan janji akan kembali keesokan harinya.

Esok pagi, Isabel datang dengan muka memar. Suaminya tahu ia berselingkuh. Fernando mengajaknya untuk bercerai dan menikah dengannya. Namun itu tidak mungkin. Dahulu sang suami menanggung hidup orang tua Isabel. Ia terlalu berjasa. Fernando pun berusaha sekuat tenaga mematikan hasratnya pada Isabel.

Tiga hari kemudian, di New York Times diberitakan seorang wanita keturunan Meksiko ditemukan tewas dipinggir jalan tol. Tubuhnya penuh memar.

Fernando menjadi gila.

Ia mencari sang suami di restoran tempatnya bekerja. Memukuli pria itu sambil menangis dan berteriak “Kau pembunuhnya, kau pembunuhnya!”

Fernando ikut babak belur. Tangan dan punggungnya memar. Tak lama kemudian, Polisi datang dan menangkap sang suami atas tuduhan pembunuhan. Fernando, dengan bantuan pengacara hebat bisa bebas.

Dua hari lagi, ia harus melompati 28 mobil. Namun, Fernando terlanjur menjadi sakit dan kosong.

Babak I

Dua anak bermain di antara perumahan kumuh. Hanya ada tanah merah, kaktus, dan sengatan matahari. Namun, dua anak itu begitu ceria. Seakan memiliki semuanya.

“Isabel!” ujar Fernando kecil.

“Ya … apa?” balas seorang gadis manis.

“Lihat itu, motor pak polisi di depan rumah Ignacio.”

“Lalu, kenapa?” balasnya lagi dengan nada heran.

“Kuncinya tergantung! Ayo kita naiki!” ujar Fernando bersemangat.

“Itu berbahaya!”

“Ayolah Isabel. Ada aku disini. Semuanya akan aman.”

Maka, keduanya pun sembunyi-sembunyi menunggangi motor tua itu. Fernando memutar tuas gas. Sementara, Isabel memeluknya erat dari belakang.

“Nggeeeeeenngg….!!!” Motor melaju kencang di atas tanah berdebu. Fernando dan Isabel berteriak girang. Batu yang mengenai ban, membuat motor tidak seimbang. Motor jatuh. Fernando dan Isabel tersungkur.

Pak polisi baru saja menyadari apa yang terjadi, ia berlari menghampiri.

“Isabel? Isabel! Kau tidak apa-apa?” Fernando memandangi Isabel yang telungkup di tanah.

“Aduh… tanganku!”

Fernando melihat lengan yang sedikit membiru,”Oh… tidak apa. Mamaku punya obatnya”

“Fernando, tapi kepalamu.” Darah segar menetes dari pelipis Fernando.

“Tidak apa..”

“Fernandooo… hiks..” Isabel menangis sedih.

“Jangan menangis. Lihat ini. Ini cuma darah. Ini tidak sakit.” Fernando meyakinkan Isabel yang tetap menangis.

“Aku tidak kesakitan, Isabel. Aku tidak menangis. Di dunia ini hanya ada satu hal yang dapat membuatku menangis!” ujar Fernando dengan lantang.

Isabel berhenti menangis, “Apa itu?”

“Kamu, Isabel…” Fernando menjawab.

Isabel tertegun.

Tidak lama kemudian, pak polisi datang. Ia marah bukan main. Ia menjewer kuping Fernando sambil menariknya ke kantor polisi.

Fernando tetap tidak menangis menahan jeweran dan robekan di kepalanya.

Yang penting, Isabel baik-baik saja.

***